TUJUH PERKARA YANG MEMBINASAKAN

Perkara Yang Membinasakan

(Bagian Pertama)

» بادروا بالأعمال سبعًا، هل تنتظرون إلا فقراً مُنسيًا، أو غنًى مُطغيًا، أو مرضاً مُفسدًا، أو هَرَماً مُفنِّدًا، أو موتاً مُجهِزًا، أو الدجال، فشر غائب ينتظر، أو الساعة، والساعة أدهى وأمر؟ «

“Segeralah kalian melakukan amal shalih karena tujuh hal. Apakah kalian menunggu hingga mengalami kefakiran yang melupakan, kekayaan yang melampaui batas, penyakit yang membinasakan atau masa tua yang membuatnya menyeracah, atau kematian yang mengagetkan, atau (kemunculan) dajjal, seburuk buruk yang tidak hadir yang ditunggu, atau hari kiamat, sebab hari kiamat itu menyulitkan dan sangat pahit.” (HR. Tirmidzi, no. 2306).

Saudaraku,
At-taswif, menunda suatu amalan shalih, perbuatan yang baik, berbagi manfaat kepada sesama, pelaksanaan kewajiban, menyambut seruan dakwah, membendung kebathilan, menolong orang yang teraniaya dan yang senada dengan itu, menjadi perkara biasa.

At-taswif merupakan penyakit mental yang harus diwaspadai oleh setiap pribadi mukmin sejati. Karena ia merupakan awal dari kemalangan yang panjang. Kesengsaraan yang abadi. Kebangkrutan total dan kebinasaan yang tak berujung di sana. Di akherat sana.

Saudaraku,
Rasulullah s.a.w mewanti-wanti kita untuk segera bergegas berlari melakukan amal kebaikan semaksimal yang kita mampu untuk memperbuatnya, sebelum munculnya salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan.

Pertama, kefakiran yang melupakan atau menyibukkan fikiran. Berapa banyak orang yang sebelumnya hidup dalam kemewahan, bergelimang harta dan kekayaan, lalu beberapa tahun kemudian mereka terperosok ke dalam jurang kefakiran. Hal ini teramsuk dalam katagori cobaan hidup yang jauh dari kata “ringan”.

Dampak dari pandami virus covid 19 di negeri ini, tidak sedikit usaha rumahan dan rumah makan mengalami kebangkrutan. Banyak karyawan dan pekerja di- PHK dari tempat kerja. Dirumahkan oleh perusahaan akibat penurunan kadar penjualan. Terlebih para pedagang kaki lima dan penjual dagangan keliling, sepi dari pembeli. Terlebih yang lebih mengkhawatirkan adalah rentan kriminalitas. Dan seterusnya.

Keluh kesah menyapa diri. Tangisan hati menjadi tembang hati. Air mata membasahi wajah. Luka jiwa perih menganga. Ratapan qalbu yang tiada berdaya. Ayunan langkah terasa kaku. Persendian nyeri terhuyung jatuh. Hari-hari seperti enggan berlalu. Menghadirkan seulas senyum lebih berat daripada memikul gunung batu. Melanjutkan perjuangan hidup laksana memamah buah mengkudu.

Saudaraku,
Kefakiran memenuhi ruang otak kita. Menyibukkan fikiran dan hati. Hidup dibayang-bayangi kekhawatiran dan kepanikan bathin. Jantung berdetak  memikirkan sesuap nasi, anak-anak bisa mengalami putus sekolah, pasangan hidup yang mulai tergerun dengan kemampuan suami mengelola keluarga dan yang semisalnya.

Itu semua mengakibatkan ketidakseimbangan diri dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia fana ini. Berbaik sangka kepada Allah mulai terkikis. Terjadi penurunan dalam ibadah. Rambu-rambu-Nya mulai diabaikan. Komunikasi dengan sesama mulai terganggu. Beraneka ragam hewan dan binatang di kebun binatang menjadi kambing hitam. Dan yang senada dengan itu.

Saudaraku,
Itulah hikmah yang tersirat di balik sabda Nabi s.a.w, “Kefakiran mendekatkan seseorang pada kekufuran.” (HR.  Adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, didha’ifkan oleh syekh Albani).

Mengomentari hadits di atas, Al-‘Aini dalam kitabnya ‘umdat  al-qari’ mengatakan, “karena kefakiran dapat menyeret seseorang melakukan suatu perbuatan yang bisa menodai kehormatan agamanya, mencoreng nama baiknya, tidak memperdulikan perkara yang haram dan bahkan dapat menghantarkannya untuk mengucapkan kata-kata kufur.”

Al-Munawi dalam karyanya “Faidh al-Qadir” berkata, "Disandingkannya kata kefakiran dengan kekufuran karena kefakiran terkadang menyeret seseorang pada kekufuran."

Al-Munawi juga mengutip perkataan Imam al-Ghazali yang menerangkan bahwa kefakiran mendekatkan seseorang untuk terjerumus ke dalam kekufuran, "Karena kefakiran menyebabkan orang untuk iri hati kepada orang kaya. Sedangkan iri hati akan memakan kebaikan. Juga karena kefakiran mendorongnya untuk tunduk kepada orang-orang kaya dengan sesuatu yang merusak kehormatannya dan membuat cacat agamanya, membuatnya tidak ridha kepada qadha' (ketetapan Allah) dan membenci (Pengatur) rizki. Yang demikian itu jika tidak menjadikannya kufur, maka hal itu bisa mendorongnya ke sana. Oleh karenanya Al-Musthafa s.a.w berlindung dari kefakiran."

Saudaraku,
Para ulama salaf sangat berhati-hati terhadap kefakiran yang menyibukkan hati dan pikiran ini. Sufyan al-Tsauri, ulama senior tabi’in pernah bertutur, "Aku mengumpulkan empat puluh ribu dinar di sisiku sehingga aku mati meninggalkan harta tersebut lebih aku sukai daripada aku terjatuh pada kefakiran satu hari dan kehinaan diri dengan meminta kepada manusia."

Pada momen yang berbeda beliau berkata, "Demi Allah, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku jikalau aku diuji dengan satu ujian berupa kefakiran atau sakit, bisa jadi aku kufur sedangkan aku tidak sadar."

Kefakiran mendekatkan kepada kekufuran; karena seseorang yang mengalami kesulitan dan kehinaan bisa menyebabkan dirinya berpaling dari peringatan Allah dan mengingkari kekuasaan-Nya.

Saudaraku,
Ketidak berdayaan ekonomi dan kefakiran yang mendera diri, gagal membangun usaha, kebangkrutan dan seterusnya, terkadang memaksa seseorang menghulurkan tangan meminta-minta di hadapan orang. Dan bahkan menjadikan seseorang mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil, melakukan tindakan kriminal.

Oleh sebab itu, terdapat hadits yang menggabungkan keduanya dalam isti'adzah (doa memohon perlindungan). Seperti doa Nabi s.a.w,

» اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ «

"Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kekufuran." (HR. Abu Dawud, dan Ahmad).

Dan itulah sebabnya mengapa kita sebagai mukmin yang berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas iman kita di hadapan-Nya, harus merutinkan do’a perlindungan diri tersebut, di waktu pagi dan petang. Karena tanpa perjagaan dan perlindungan dari-Nya, kita menjadi lemah dan dha’if menghadapi ujian kefakiran dan derasnya ujian kekufuran di zaman fitnah ini.

Saudaraku,
Kefakiran yang berbalut keimanan, kemiskinan yang berpagar keridha’an terhadap takdir-Nya, ketiadaan harta yang dilapisi ilmu pengetahuan agama yang memadai, akan menetaskan kemuliaan, kehormatan dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.

Rasulullah s.a.w memberi garansi untuk mendahulukan orang-orang fakir memasuki surga-Nya yang seluas langit dan bumi, sebelum orang-orang kaya memasukinya. “Orang-orang fakir dari kaum muslimin masuk surga lebih dahulu dari mereka yang kaya dengan jarak lima ratus tahun.” Dalam redaksi lain, “Sejarah empat puluh tahun.” (HR. Tirmidzi, no. 2354, dan dishahihkan syekh Albani).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjabarkan hadits di atas, “Orang fakir masuk surga sebelum orang kaya memasukinya, karena hisab amal yang diberlakukan baginya lebih mudah daripada hisab kepada orang kaya. Namun jika amal kebaikan orang kaya lebih berlimpah daripada orang fakir, maka derajatnya tetap lebih tinggi di surga meskipun mereka terlambat memasukinya.”

Ibnu Hazm al-Andalusi dalam kitabnya “al-Ushul wa al-Furu’” menyinggung tentang kaya dan miskin, “Bahwa kaya dan miskin tidak menentukan kemuliaan. Kemuliaan orang kaya dan orang miskin ditentukan oleh amal mereka. Jika amal keduanya sama, maka kemuliaannya pun sama. Jika yang kaya lebih banyak beramalnya, maka ia lebih mulia dari orang miskin, begitu juga sebaliknya.”

Saudaraku,
Kefakiran, adalah takdir Allah atas kita. Pada saat yang sama, ia merupakan ujian keimanan kita. Yang jika berprasangkan baik terhadap-Nya. Sabar menjalaninya. Ridha dengan ketentuan-Nya. Tawakkal dan berikhtiyar untuk melepaskan diri darinya. Mohon perlindungan kepada-Nya dari ujian ini.

Yakinlah bahwa di sana ada ganjaran dan pahala yang Allah siapkan untuk kita. Di sana ada kedudukan yang tinggi di surga-Nya. Dengan cara itulah Allah mengangkat derajat kita. Dengan jalan itu pula dosa-dosa kita Dia hapuskan untuk kita. Dan tentulah Allah hendak mendahulukan kita masuk ke dalam surga, sebelum mereka yang Dia uji dengan kekayaan dan gelimang harta memasuki tempat yang penuh dengan kenikmatan tersebut. Dan agar kita tidak lalai untuk senantiasa mentaati-Nya. Wallahu a’lam bishawab.


Metro, 16 April 2020
Fir’adi Abu Ja’far
Labels: 2020, Edisi April
0 Komentar untuk "TUJUH PERKARA YANG MEMBINASAKAN"

Back To Top