Sukses Melewati Fitnah Harta


“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15).
Saudaraku,
Di antara nikmat terbesar yang Allah s.w.t karuniakan kepada kita adalah nikmat harta. Bahkan harta dan anak-anak, Allah lambangkan sebagai perhiasan dunia. Artinya ketika kedua-duanya telah berada dalam genggaman kita, seolah-olah kita telah memiliki dunia dan seisinya. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al Kahfi: 46).
Penyebutan harta lebih didahulukan daripada anak-anak, tentu memiliki rahasia yang agung. Menjadi aksioma, bahwa banyak orang yang dapat meraih kebahagiaan hidup lantaran memiliki harta, walaupun anak keturunan yang didamba belum hadir meramaikan sebuah keluarga. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang hidupnya tak terarah dan linglung, karena menanggung beban hutang yang menyesakan dada. Walaupun ada suara tawa dan tangis anak-anak di tengah-tengah keluarga.
Maka perpaduan antara harta dan anak-anak, menjadikan kebahagiaan kita dalam hidup terasa sempurna, mengamit rasa. Walaupun tiada kesempurnaan hakiki selama kaki kita masih menginjak bumi. Selama mata kita masih menatap langit. Karena kesempurnaan itu milik Allah s.w.t dan akan kita raih di akherat sana.
Namun kedua nikmat ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi bencana besar dan kehinaan abadi jika kita tak menjadikannya sebagai sarana taqarrub kepada Allah swt. “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu. Dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At Taghabun: 15).
Saudaraku,
Banyak pintu kebaikan yang tidak mungkin kita buka kecuali dengan kunci harta. Tidak sedikit kran-kran amal shalih, yang tersumbat tak mengucur melainkan dengan sarana harta.
Zakat, sedekah, menyantuni anak yatim, membiayai sekolah bagi anak-anak yang kurang mampu, membebaskan orang yang dililit hutang, membantu orang yang tak mampu dan yang seirama dengan itu. Itu merupakan contoh peluang amal shalih, yang tak mampu kita raih melainkan dengan harta.
Nabi s.a.w pernah bersabda, “Orang-orang miskin dari umatku masuk ke dalam surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih waktu lima ratus tahun.” (HR. Tirmidzi, no. 2353 dan Ibnu Majah, no. 3343).
Orang miskin, mendahului orang kaya masuk ke dalam surga sejarak 500 tahun. Namun bukan berarti tingkatan surganya lebih tinggi daripada orang kaya. Tentu tingkatan surga ditentukan oleh banyak atau tidaknya amal shalih yang kita ukir dalam kehidupan ini, setelah beriman kepada Allah s.w.t.
Jika kita mampu memaksimalkan harta di jalan yang Allah kehendaki dan ridhai, maka sudah barang tentu, tingkatan surga kita lebih tinggi daripada orang yang tidak memiliki harta. Selama kwalitas iman kita sama dengan mereka.
Saudaraku,
Keberkahan harta, perlu kita pelihara dengan sekuat kemampuan kita. Agar ia tidak menjadi bencana dan malapetaka bagi kita. Baik di dunia maupun di akherat sana.
Seorang penyeru dakwah dari Siria, yang bernama Musthafa as-Siba’i rahimahullah, menyebutkan ada tiga kiat untuk memelihara keberkahan harta milik kita:
• Mendapatkannya dengan cara yang tidak zalim (sesuai aturan syari’at).
• Mendistribusikannya dengan tepat guna, tidak melampaui batas (boros).
• Mengukur (menghemat) pengeluarannya tanpa harus kikir atau pelit.
(Hakadza allamatnil hayat, Musthafa as-Siba’i).
Saudaraku,
Kita harus selalu memastikan bahwa harta yang masuk ke rumah kita, rekening kita, kantong kita, dikonsumsi tubuh kita dan keluarga, yang telah mewujud sawah ladang kita dan seterusnya. Kita peroleh dari jalan yang halal. Bukan dari jalur yang syubhat. Apatah lagi dari kran-kran yang haram.
Karena mengkonsumsi harta yang haram akan mendapat ancaman di dunia, di liang kubur, terlebih di akherat kelak.
Ancaman di dunia; dicabutnya keberkahan harta, mengendapnya penyakit di dalam tubuh kita atau keluarga kita, menyingkirnya keterkabulan do’a dan yang senada dengan itu.
Ancaman di liang kubur; si pelaku akan di bakar api di dalam kuburnya. Tersebut dalam hadits muttafaq alaih, bahwa Mud’im seorang budak yang ikut serta dalam perang Khaibar bersama Nabi s.a.w. Setelah ia terbunuh karena terkena panah nyasar, para sahabat berkomentar, “Selamat bergembira, karena ia telah mati syahid.” Nabi s.a.w bersabda, “Tidak demikian, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kain woll yang dikenakannya ketika perang Khaibar termasuk harta rampasan perang yang belum diserahkan. Yang dengannya dia akan dibakar api.”
Sedangkan di akherat, tiada daging yang tumbuh dari harta yang haram, terkecuali neraka lebih pantas bagi orang yang melakukannya.
“Wahai Ka’ab, tidaklah suatu daging yang tumbuh dari harta yang haram, melainkan api neraka lebih layak untuknya.” Demikian pesan Nabi kepada Ka’ab bin ‘Ajrah yang tersebut dalam sunan Tirmidzi.
Saudaraku,
Bukan hanya harta yang kita dapatkan harus dari jalur yang halal saja, tetapi penyalurannya juga harus pada jalan yang tepat dan sesuai aturan Allah dan rasul-Nya.
Tidak kita salurkan ke tempat-tempat dosa dan maksiat serta tidak kita belanjakan secara boros dan mubazir.
Sekecil apapun kadar harta yang kita belanjakan di jalan maksiat, maka hal itu termasuk pemborosan. Sebaliknya sebanyak apapun harta yang kita keluarkan di jalan ketaatan, maka hal itu bukan termasuk pembaziran harta. Itulah yang pernah diisyaratkan oleh Mujahid rahimahullah.
Saudaraku,
Berhemat, jelas berbeda maknanya dengan pelit alias bakhil. Yang pertama identik dengan nilai positif, dan sebaliknya pelit mengandung arti negative.
Ibnu Katsir mengomentari firman-Nya, “(Ibadurrahman) adalah orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian itu.” (QS. Al Furqan: 67).
“Yaitu orang-orang yang tidak membelanjakan harta dengan mubazir melebihi kadar kebutuhan (konsumtif) dan tidak pula kikir dalam menafkahi keluarganya (mengurangi hak-hak mereka), apalagi terlalu membatasinya. Tapi mereka mengambil pilihan tengah. Karena sebaik-baik perkara adalah di pertengahannya. Tidak “konsumtif” dan tidak pula “pelit.”
Ali bin Thalib r.a pernah bertutur, “Harta yang engkau keluarkan untuk keperluanmu dan keluargamu dengan tidak boros dan kikir serta harta yang engkau sedekahkan adalah harta yang akan menjadi bagianmu. Sedangkan harta yang engkau infakkan karena riya’ dan sum’ah, maka hal itu merupakan bagian (milik) setan.”
Ibnul Jauzi pernah berkata, “Orang yang cerdas merancang dengan akalnya sumber ma’isyah (penghidupan)-nya di dunia. Jika ia miskin, ia bersungguh-sungguh mengais rezki dan berupaya melepaskan diri dari menghiba menghina diri di depan manusia serta berupaya membatasi ketergantungan terhadap makhluk dan mencukupkan diri dengan sifat qana’ah. Dengan demikian ia akan hidup dengan tidak tergantung kepada manusia dan mulia (terhormat) di tengah-tengah mereka.
Jika ia kaya, hendaknya ia mengatur penyaluran hartanya agar ia tidak jatuh miskin dan merendah hiba di hadapan manusia.”
Saudaraku,
Jika kita cermat dan cerdas memelihara ketiga hal ini, insyaallah keberkahan hidup dapat kita rasakan dan keberkahan harta yang kita punya semakin bertambah dan tak akan pernah berkurang.
Sudahkah kita mempraktekkan ketiga hal tersebut di atas?. Tentu hanya kita yang tahu jawabannya. Wallahu a’lam bishawab.
Labels: 2020, Edisi Maret
0 Komentar untuk "Sukses Melewati Fitnah Harta"

Back To Top