FILOSOFI KORBAN

Berkorban



» لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  «

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).


Saudaraku,
Tanpa terasa sang waktu terus melaju, datang menghampiri kita dan pergi meninggalkan kita. Saat ini kita sudah berada di ambang bulan Dzal-Hijjah. Setiap kali kita berada di bulan haram ini, kita terkenang dengan dua momen bersejarah dalam perjalanan umat ini. Yakni haji dan korban. Di mana keduanya melambangkan pengorbanan dan kesungguhan kita dalam merebut surga idaman.

Terkait dengan korban yang disembelih pada hari raya iedul adha dan tiga hari setelahnya (hari-hari tasyriq; 11, 12 dan hingga terbenamnya matahari tanggal 13 Dzul-Hijjah), mengandungi filosofi adalah sebagai berikut:

Pertama, mentaati perintah Rabb kita.
Saudaraku,
Filosofi ini dapat kita ambil dari firman-Nya, “Dan shalatlah atas nama Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).

Semakin mapan kualitas iman kita kepada Ilahi, maka semakin tunduk hati kita untuk melaksanakan perintah dan suruhan-Nya. Sebaliknya semakin rapuh keyakinan kita kepada-Nya, mengakibatkan semakin berat dan lambat pula kita menyambut seruan-Nya.

Ada sebagian orang yang sudah melewati usia empat puluh tahun, tapi hatinya tidak mampu menggerakkan raganya untuk melaksanakan korban. Dilihat dari sisi finansial sudah cukup mampu dan dari corak warna duniawi, cukup hijau dan berkemilau.

Belum pernahkah datang ancaman sang baginda Nabi s.a.w kepadanya sebagaimana termaktub dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 3123, “Siapa yang mendapatkan keluasan harta dan tidak mau berkorban, maka jangan ia mendekati mushalla kami.”

Dalil di atas dan dalil-dalil lainnya yang senada, yang mendasari syekh al-Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa korban hukumnya wajib bagi orang yang memiliki keluasan harta.

Kedua, meneladani pola hidup Rasulullah s.a.w
Saudaraku,
Jika kita telusuri lembaran-lembaran sirah Rasul junjungan, kita dapati fakta bahwa beliau selalu berkorban setiap tahunnya. Bukan hanya dengan satu ekor kambing atau domba. Tapi beliau berkorban dengan dua ekor domba atau kambing.

Rasulullah s.a.w berkurban dengan dua ekor domba yang berwarna putih bersih dan bertanduk. (HR. Ibnu Majah, no. 3120).

Ibnu Umar r.a menuturkan, “Adalah Rasulullah s.a.w mukim di Madinah selama sepuluh tahun, senantiasa berkorban setiap tahunnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1507).

Dalil di atas menjadi pelurusan asumsi bagi orang yang memahami bahwa berkorban hanya diperbuat sekali seumur hidup, tak ubahnya seperti munanaikan haji ke baitullah.

Dengan demikian, bekorban, disyari’atkan untuk dilakukan setiap tahun bagi orang yang mampu memperbuatnya.

Ketiga, menggembirakan hati orang yang terbatas mata pencahariannya
Saudaraku,
Salah satu pemberian yang membekas sampai di kedalaman hati adalah pemberian daging segar. Terlebih bagi mereka yang jarang mengkonsumsi daging segar, melainkan hanya dalam hitungan jari dalam setahun.

Oleh karena itu dalam pendistribusian daging korban, Allah memberikan arahan yang sangat jelas dalam al-Qur’an, “Dan sebagiannya (daging korban) berikanlah kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir..” (QS. Al-Hajj: 28).

Bukankah menyenangkan hati orang lain dan meringankan beban berat mereka lebih disukai Nabi s.a.w dari i’tikaf di masjid Nabawi sebulan lamanya?.

Keempat, mentaati rambu-rambu Ilahi
Saudaraku,
Substansi ibadah korban adalah mengukur ketaatan kita pada rambu-rabu Ilahi.

Hewan korban harus dari jenis onta, sapi dan kambing atau domba. Umur hewan korban sudah cukup. Tidak memiliki cacat yang disebutkan dalam hadits. Disembelih setelah pelaksanaan shalat idul adha. Si pengorban tidak boleh menjual daging, tulang dan kulit hewan korbannya dan yang senada dengan itu.

Hal ini menunjukan bahwa orang yang berkorban, namun tidak mengikuti rambu-rambu yang dipasang syari’at, maka ibadah korbannya tidak sah. Tidak mendapatkan pahala yang dimaksudkan. Keingianan hati hanya memenuhi ruang kosong dan hampa.

Kelima, amalan terbaik pada sepuluh hari pertama Dzul-Hijjah
Saudaraku,
Rasulullah s.a.w menjelaskan, “Tidak ada hari di mana suatu amal shalih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” (HR. Bukhari, no. 969).

Amalan yang paling dicintai Allah, jika kita perbuat insyaallah akan mendatangkan cinta dan ridha-Nya serta mempertegas kedudukan kita di sisi-Nya. Sungguh merugi bila kita mengabaikan dan tidak merealisasikannya dalam hidup kita.

Keenam, anggota tubuh korban menjadi saksi pada hari kiamat.
Saudaraku,
Nabi s.a.w bersabda,  “Tidaklah anak Adam beramal pada hari Nahr (iedul adha) yang paling dicintai Allah dibandingkan dengan menumpahkan darah hewan sembelihan (berkurban). Hewan korbannya akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku dan bulunya. Sesungguhnya (pahala) darahnya akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah.” (HR. Tirmidzi, no. 1493)

Kita sangat membutuhkan syafaat dan bantuan dari siapa saja dan dalam bentuk apa pun. Daging, tulang, kulit, tanduk dan bulu-bulu hewan korban yang kita sembelih sekarang ini, akan membantu persoalan kita di akherat. Karena ia akan memberi kesaksian untuk kita di sana. Di akherat sana. Bahwa kita pernah berkorban, pada hari raya korban.

Penyesalan abadi di sana bagi orang yang telah memiki dunia, tapi tidak pernah berkorban dalam hidupnya. Ia tidak sadar bahwa harta benda dan kekayaannya hanya titipan dari Zat yang Maha Kaya. Sekadar pinjaman dari Zat yang Maha Bijaksana.

Saudaraku,
Lebih dari apa yang telah kita uraian di atas, berkorban merupakan harga mati untuk menggapai kesuksesan dan merebut kemenangan. Baik dalam cakupan individu, keluarga, masyarakat, umat dan negara.

Semua warna korban dibutuhkan dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Berkorban harta. Memaksimalkan daya dan kekuatan. Mencurahkan waktu dan tenaga. Menguras potensi dan menyulut kemampuan. Memberdayakan akal pikiran dan kekuatan fisik. Dan seterusnya.

Itu semua merupakan substansi dari korban yang sesungguhnya. Corak dari pengorbanan hakiki. Demi meraih ridha dan cinta Ialhi. Sebagai upaya meneladani para Nabi. Demi meraih surga idaman hati.

Saudaraku,
Sudahkah kita memantaskan diri menjadi hamba Rabbani?. Mari kita memulainya dengan mengambil bagian menjadi pengorban sapi di tahun ini. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 01 Agustus 2019
Fir’adi Abu Ja’far
Labels: 2019, Edisi Agustus
0 Komentar untuk "FILOSOFI KORBAN"

Back To Top